“Barusan ada temen yang bilang, ada rumah di Tangerang dijual buat dijadiin museum. Ukirannya bagus-bagus “, kata seorang teman melaui telpon. Setelah beberapa SMS, hari Minggu 17 Januari saya dan Dharmawan pergi ke Tangerang. Sampai didaerah tujuan, kami sempat melihat-lihat beberapa rumah didekatnya. Ternyata rumah penulis terkenal Oey Kim Tiang alis OKT alias Boe Beng Tjoe ada didekat situ. Rumah beliau pernah menjadi lokasi pertempuran beberapa cabang atas penggemar cerita silat memperebutkan kitab-kitab pusaka.

Sampai dirumah tujuan, kecemasan akan lagi-lagi bertemu lantai dan dinding berkeramik putih hilang. Kami tidak tahu umur dan sejarah rumah, tetapi kondisinya baik. Pintu dan pemisah ruangan dari kayu masih ditempatnya. Lantai marmer ruangan depan sudah pecah-pecah, tidak apa, lebih indah daripada keramik. Ada tiga foto hitam putih dan meja abu. Diujung kiri dan kanan ada pintu dengan huruf Cina besar diatasnya. Pintu kiri terhalang tumpukan barang dagangan, sehingga kami tidak bisa masuk keruang tengah.
Ada gang dibalik pintu kanan menuju keruang belakang yang berlantai terakota. Disitu terpajang foto dua anak kecil, yang wanita memakai kalung rantai berlapis-lapis model penyanyi rap. Bagian atas ruangan ini kosong, untuk jalur ventilasi dan cahaya.
Kami naik tangga kayu yang licin dan gelap tapi masih kokoh. Disini ada meja sembahyang untuk beberapa dewa. Setelah melalui pembatas ruangan dari kayu, kami menuju area ventilasi yang dihias indah.
Pinggirannya dikelilingi pagar kayu berukir. Diatas ada relief beraksen keramik di setiap sisi. Ada tambahan debu dan rumah dari keluarga laba-laba yang tinggal disitu. Relief ini konon berfungsi sebagai hiasan dan penolak pengaruh buruk. Pada masa itu televisi dan internet belum ada, sehingga kekuatan buruk hanya bisa masuk melalui jendela dan lubang angin.
Selesai melihat-lihat rumah, kami mampir ke sebuah warung. Sekitar jam 10:45 pagi, semua panci masih penuh terisi.
“Ini makanan paling enak se Tangerang. Paling jam 11 udah abis”, kata si penjual.
Kami mencoba sebuah camilan mirip lumpia tapi dalam ukuran kecil. Juga memesan laksa versi Tangerang. Ternyata meskipun bernama laksa, rasanya lain sama sekali dengan laksa Cibinong.
Tujuan berikutnya daerah Selapajang. Ada beberapa rumah model Kebaya yang masih dipakai. Rumah ini bukan rumah berbentuk kebaya, atau rumah tempat pembuatan kebaya. Rumah Kebaya adalah rumah berdinding kayu dengan atap melebar. Umumnya terletak di daerah (yang dulunya) persawahan. Rumah-rumah itu pindahan dari tempat bandara Sukarno-Hatta sekarang. Model rumah kayu lain adalah rumah Panjang, yang ini atapnya memanjang. Ada lagi rumah Kawin, tempat resepsi perkawinan masyarakat pinggir kota.
Rumah pertama yang kami kunjungi berhalaman luas. Ada rumpun pisang batu disamping. Daun pisang batu memiliki rasa dan warna yang khas, sehingga laku dijual untuk pembungkus makanan.
Sama dengan rumah kebaya yang pernah saya kunjungi di Teluk Naga, tanggal pembuatan tertera di tiang depan. Entah mengapa tanggal produksi rumah harus dicatat. Rumah yang dibangun tahun 1927 ini dalam kondisi baik dan bersih. Ruang depan terang dan ventilasi bagus. Sayang ada lantai berkeramik putih polos. Pemilik rumah, pak Yong, dengan ramah mempersilakan kami melihat isi rumah.
Ibu pak Yong, yang juga ramah, menemani kami berkeliling. Ada tempayan tua, dapur dengan kompor gas dan tungku kayu bakar.Beliau menerangkan, rumah dibersihkan seluruhnya setiap 3 tahun, menjelang Imlek. Saat Imlek, rumah sudah harus rapi dan bersih. Sambil lalu juga bercerita tentang lemari tuanya yang dijual. “Abis orang itu dateng-dateng terus”, katanya. Setelah puas membuat foto dan berbincang-bincang, kami mampir kerumah Kebaya tetangga pak Yong, sebelum pulang.
Banyak pertanyaan belum terjawab dalam perjalanan ini. Apa cerita yang digambarkan relief di ruko tua itu ? Asal nama rumah Kebaya tidak ada yang dapat menjawab. Apakah karena penghuninya memakai kebaya ? Mengapa sampai perlu dua pintu untuk menghubungkan ruang depan dan belakang, dan banyak hal lainnya. Tapi tidak apa, meskipun masih penasaran, perjalanan ini memuaskan kami. Ternyata daerah pesisir juga menarik.