
Tulisan oleh : Dharmawan
Keluarga Tjioe (baca Chou) Siong Djin punya kebun 17 hektar di Tangerang. Tapi itu dulu. Sekarang sudah habis terkena gusuran bandar udara.
Rumahnya masih di tempat yang sama di kelurahan Sukasari: ketika daya listrik waktu itu masih 100 watt saja, dengan 8 buah bohlam 10 watt di beberapa titik. Itulah penerang rumah “kebaya” khas “cina benteng Tangerang”, yang nyaris seluruhnya terbuat dari kayu. Bentuknya mirip rumah Betawi.
Dihubunghkan dengan pasak, bisa dipasang-bongkar dengan mudah. Nyaris tiada berubah. Di atas pintu masih ada Hu, dari toa pe kong Kuan Im, yang diarak saban tahun Naga.
Rekening listriknya masih atas nama ayahnya, Tjioe Hok Lin. Tak ada rayap yang menyerang, paling-paling sek-sek. Panel-panel dan reng terbuat dari kayu nangka, pilarnya jati. “Nggak ada yang beli. Kayu dari pohon sendiri.”
Memang ada yang berubah: pohon cempaka di depan mulai sekarat, halaman depannya terpotong pelebaran jalan dua kali. Sementara Djin tak lagi jadi leveransir dan kontraktor. Pria kelahiran 1940-an ini lebih banyak berada di rumah. Menikmati pertandingan sepakbola di teve, bersama keretek kesayangan, seakan menjauhkan pikiran dari penyakitnya: jantung koroner.