
Tulisan & foto oleh : Dharmawan
Adalah Setyadi – Teng Tek Yan – yang berpembawaan ramah, berkantor di sini: bagian belakang dari sebuah rumah tua dengan ubin terakota 30x30cm, dengan sebagian atap transparan. Inilah generasi keempat Teng Hay Soey, dan kemudian diteruskan Teng Giok Seng, perintis “fabriek” Kecap Benteng pada 1882. Delapan puluh lusin saja sehari, dengan rasa khas “keluaran cina benteng” : bumbu kayu manis dan bunga lawang, yang membuatnya begitu sedap.
Dari dulu, di sini, di Pasar Lama, Tangerang, diusahakan secara rumahan, dengan isi sebotol 620ml. Pabrik pembuatan berseberangan dengan tempat simpan stok dan kantor administrasi.
“Dulu kami menggunakan gula dari Purwokerto. Tapi terlalu banyak campuran ubi. Belakangan kami pakai yang dari Sukabumi. Ada campuran kelapanya.”
Mengapa menggunakan dua label dengan dua lambang: istana dan burung?
“Karena kami tidak punya hak menggunakan merek burung, ya pakai merek Istana.”
Label dengan merek istana itu disertai klaim: kecap benteng tulen. Hanya dijual di pasar tradisional.
Peta Kecap Benteng Istana, Tangerang :
mau nanya om,ini pabriknya yg di deket klenteng itu ya ?
Iya betul sekali