Setelah 25 tahun lebih, Banten Lama terlihat berubah. Keraton dan benteng lebih bersih. Warung dan rumah liar menjamur. Makam Maulana Yusuf dirombak, vihara Avalokitesvara habis terbakar.
Kami singgah pertama dimakam Syech Maulana Yusuf. Saya tidak mengenali bentuknya, ternyata bangunan lama dibongkar tahun 2004. Jalan masuk dibentengi tiga lapis kotak sumbangan, lengkap dengan kakek penjaganya. Tidak banyak yang tersisa dari masa lalu, kecuali batu nisan dan Al-Quran tua yang tersimpan di kotak kayu.
Persinggahan kedua keraton Kaibon. Sekarang dipagar kawat. Pak Mulangkara dari BP3 berjaga disana 24 jam sehari. Kami bicara tentang perubahan Banten Lama di pos jaga sekaligus rumahnya.
Kramat Jabang Bayi dibongkar tahun 1993 karena nilai sejarahnya meragukan. Orang tua si bayi tidak ketahuan. Juga aneh kok bisa bisanya mengubur didepan keraton. Sekarang hanya tersisa batu karang kecil disitu.
Bangunan berbentuk ikan pari di Utara Kaibon belum dipelajari. Di lokasi yang ditemukan melalui survey udara ini, banyak ditemukan pecahan keramik tua. Meski demikian riwayat tempat yang dikelilingi parit selebar 18 meter itu belum diketahui.

Dari peta Banten Lama milik pak Mulangkara, terlihat kalau air adalah sistim transportasi utama. Tempat penting seperti Kaibon, Surosowan dan Speelwijk terhubung dengan kanal. Ada beberapa generasi kanal. Paling awal aliran sungai Cibanten. Kesultanan Banten lalu menambahkan jalur2 pertahanan dan transportasi. Setelah kesultanan dihapus tahun 1813, Belanda membuat tambahan kanal2 baru.
Dari perhitungan debit air dan ketinggian bangunan, diduga kuat kanal sekeliling Kaibon adalah aliran asli sungai Cibanten. Kanal sekitar Surosowan dipastikan buatan manusia. Sayang sebagian kanal ditimbun untuk jalan Karangantu baru. Sebelum pulang, Mulangkara sempat merekomendasikan buku “Catatan Masa Lalu Banten” karangan Halwany Michrob.

Tujuan berikutnya mesjid Agung Banten dan Surosowan. Alun-alun penuh tenda pedagang, mayoritas pedagang bakso. Kami memilih yang memajang udang, tempe, ikan bandeng dan ayam goreng. Semuanya kuning dibumbui kunyit, ada sedikit tempe goreng. Saya memilih tempe goreng. Setelah habis separo, ibu penjual menerangkan kalau tempe yang berwarna coklat adalah sisa kemarin.
Tidak banyak yang dapat dilihat di Mesjid Agung. Ada ceramah diserambi, hinga kami tidak dapat masuk. Pintu menara terkunci. Di gedung Tiyamah ada kertas bertulisan “Tempat benda benda purbakala”. Tapi kami tidak masuk, karena antrian cukup panjang. Anehnya museum didekat situ sepi pengunjung. Padahal isinya benda purbakala juga.
Keraton Surosowan sepi. Pagarnya terkunci, ternyata harus minta kuncinya di museum. Kami malas balik lagi. Karena bujuk rayu teman saya, petugas kebersihan akhirnya mengijinkan masuk. Untung kondisinya cukup terawat. Ekskavasi terus berjalan walau tersendat-sendat. Kanal tidak terlihat, terhalang jalanan dan rumah liar.
Surosowan dan Kaibon pernah dibongkar dijaman Daendels, jadi tidak banyak yang tersisa. Tapi perbedaannya jelas. Bentuk Surosowan mengutamakan fungsi keamanan, mungkin pertahanan lebih tepat ya. Gerbang dan pintu ruangan dalam dibuat menyerong, hingga memperlambat dan mempersempit sudut pandang penyerang.

Perhentian berikut daerah Pecinan di desa Dermayon. Ada menara dan mihrab sisa mesjid Pacinan Tinggi. Menaranya miring seperti menara Pisa di Italia sana. Ada 3 makam disana, entah apa hubungannya dengan mesjid. 100 meter di Utara ada rumah pak Benjol, ini memang nama aslinya. Sudah direstorasi BP3, konon dari jaman dinasti Tang di Tiongkok. Anehnya rumah ini tidak tampak terlalu tua.
Terus ke Utara, ada vihara Avalokitesvara, nama baru kelenteng Ban Tek Ie. Bangunan aslinya terbakar tahun 2009. Menurut Asan, kebakaran disengaja oleh dewi Kwan Im. Beliau membakar tangan dan kelenteng untuk tumbal agar gunung Anak Rakata tidak meletus. Pengurus tidak bisa dimintai tanggung jawab, karena kebakaran merupakan kehendak dewa dewi. Sekarang disitu berdiri gedung beton bertulang 2 lantai mirip ruko. Bagian tertua sekarang adalah kamar penginapan tamu. Dibangun awal 1960 oleh Atang Latif alias Apiang Jinggo. Tidak ada lagi bangunan tua menarik disini.
Kondisi benteng Speelwijk lebih baik, jalan aspal melalui benteng sudah ditutup. Pintu menghadap laut sudah dapat dilalui. Sayang pagar tinggi di tanah sebelahnya merusak pemandangan.

Kami lalu ke Selatan, menuju Tasik Ardi, danau buatan tempat penampungan air. Konon dasarnya berlapis terakota. Ada pulau kecil dengan kolam pemandian ditengahnya. Air disalurkan ke Surosowan melalui 3 buah penyaring dan pengatur tekanan yang disebut Pengindelan. Sayang tempat ini sekarang dijadikan arena bermain anak2.
Dibandingkan tahun 1984, kondisi Banten Lama sekarang lebih baik, kecuali kelenteng dan makam Maulana Yusuf yang “lenyap”. Tetapi bangunan liar dan menara menara BTS sangat merusak pemandangan. Fasilitas pendukung, tempat yang menyediakan makanan enak misalnya, masih tidak ada. Untuk pencinta sejarah, tempat ini masih menarik, asalkan menyiapkan data sebelumnya.
Catatan :
Matahari terasa lebih panas disini, sebaiknya datang sebelum jam 10 atau sesudah jam 15. Kalau ingin lebih lama, bisa menginap di kelenteng dengan sumbangan serelanya. Sebaiknya membawa makanan dan air minum sendiri. Makanan disana cukup mahal, Rp 130,000,- untuk 5 orang
rencana mau kesana, tapi berhubung jarak cukup jauh adi urungkan niat..
nextime saja 😀
salam kenal..