Bukit ini Bukit Larangan. Tempatnya raja dan bangsawan, dijaga tentara dan mahluk gaib. Suasananya tenang meski ada tepat dipusat kota. Suara berisik tidak bisa naik kesini. Hawanya nyaman, pohonnya tinggi-tinggi. Bukit ini strategis secara militer, bisa mengawasi seluruh kota. Dipuncak ada waduk kecil dibekas pos artileri. Sekelilingnya pagar kawat duri dan tanda larangan masuk dengan gambar orang ditembak. Tapi nama bukit ini tidak berasal dari tanda larangan itu.
Bukit ini sudah terlarang sebelum ada waduk. Menurut legenda, awalnya larangan dibuat oleh raja pertama, Sang Nila Utama. Dia raja Palembang yang menjadi TKI, merantau kesini, mendirikan pusat perdagangan, yang lalu menjadi besar. Penduduk dilarang masuk karena istananya ada dibukit ini. Seratus tahun kemudian kerajaannya hancur. Pasukan Jawa dan Siam yang kadang menganggu kota, berhasil naik ke bukit, Raja ke 5, Prameswara, lari pindah ke Melaka, disana mendirikan pusat perdaganan baru. Benteng dan kuburan ditinggalkan.
Dari makam kerajaan, yang tersisa sekarang hanya makam makam Shah Iskandar Shah. Inipun diragukan, karena Shah Iskandar Shah menurut catatan tidak wafat di Singapura. Menurut penelitian arkeologi, ini bekas bengkel kaca. Kaca dari Cina dilelehkan dan dibentuk lagi. Pusat daur ulang di abad 14 ! Kalau dari segi sejarah tempat ini biasa-biasa saja, dari sisi gaib, tempat ini ternyata keramat. Tidak seperti keramat di Indonesia, disini ada larangan membakar kemenyan, memberi sesajen dan memberi makan burung. Memang tidak ada burung disini.
Didekat makam keramat ada bekas penggalian arkeologi yang dibiarkan terbuka. Hanya ditutupi atap, tidak dijaga Pertama kali saya melihat ekskavasi arkeologi disini. Ada beberapa pecahan keramik, sayang temuan perhiasan emasnya sudah dibawa ke museum.
Sebenarnya sampai abad 19 benteng dan kuburan masih ada, tetap utuh karena larangan masuk tetap dipatuhi. Penduduk pulau ini memang patuh pada peraturan. Benteng hilang karena Raffles datang ke Clarke Quay, 500 meter dari kaki bukit, tahun 1819. Daerah ini kini penuh bar, pub, kafe dan sejenisnya, semuanya menyediakan macam2 cairan beralkohol. Sangat populer dikalangan turis, terutama kalau malam. Ini tempat yang pertama kali didatangi Raffles.

Raffles mengikuti jejak bekas raja Palembang itu. Mendirikan pusat perdagangan dikaki bukit, dan membangun rumah diatas bukit. Awalnya ada kesulitan karena tidak ada yang berani naik kesini. Akhirnya asisten Raffles, mayor William Farquhar harus turun tangan sendiri. Didekat rumahnya Raffles membuat taman untuk koleksi tanaman rempahnya.
Setelah Raffles pulang, bukit ini jadi daerah militer. Daerah terlarang lagi. Kuburan raja dan benteng diganti kuburan dan benteng Eropa. Jaman perang dunia II dibuat bunker untuk markas jendral Percival. Bunker ini lalu dipakai Yamashita, lawan Percival diperang dunia 2. Setelah perang berakhir pemerintah kolonial Inggris menarik diri, digantikan Malaysia, lalu Singapura. Bukit Larangan masih dikuasai militer, sampai tahun 1970an.
Sekarang bukit Larangan sudah menjadi Canning hill. Kita sudah bisa naik kesana karena raja dan tentara sudah pergi. Asrama sudah menjadi teater tari Fort Canning Centre. Kebun bumbunya Raffles ditanami pohon lagi. Markas tentara Inggris dijadikan hotel.

Kuburan sudah digusur, batu nisannya ditempel ditembok. Meski bekas kuburan, tempat ini sering dipakai buat konser musik disini. Di pojokan tersisa beberapa makam Eropa. Entah apakah makam2 itu keramat, tapi selalu ada yang menabur bunga disitu. Kadang ada yang mengirim kueh mangkok raksasa, apel dan ketimun.
Ada perubahan, tapi lebih banyak yang sama. Kota dikaki bukit, sekarang namanya Orchard, masih jadi pusat perdagangan. Pasukan dari Siam dan Jawa masih berdatangan, dan seperti dulu, mereka hanya berputar-putar dikota.
[…] Flickr, Somewhere Over The Rainbow, Ancient Origins, Esplanade, Kisah, Golden Village […]