Rumah Kebaya Cina Benteng

rumah-kebaya-cina-benteng
Paseban rumah kebaya tradisional

Paseban rumah kebaya Oen Kong Tjoan

Kalau kita kepinggiran Tangerang, kadang ada rumah kayu besar, dari samping seperti 3 atau 4 rumah kopel. Ada paseban lebar didepan dan halaman bertegel terakota. Kertas kuning atau merah bertulisan Cina diatas pintu  dan tempat hio disamping. Saat musim panen padi, halaman depan akan penuh padi yang dijemur.

Itu adalah rumah kebaya Cina Benteng, rumah tradisionil petani Cina Benteng.  Ada juga rumah kebaya Betawi yang mirip tapi dengan pembagian ruangan berbeda. Asal usul rumah kebaya, baik Betawi maupun Cina Benteng, tidak jelas, Bahkan tidak ada yang tahu mengapa dijuluki “rumah kebaya”. Ada yang bilang karena penghuninya memakai kebaya, versi lain karena bentuknya seperti kebaya. Kedua versi ini agak mengada-ada menurut saya. Literatur tentang rumah kebaya juga tidak dapat saya temui. Meski riwayatnya belum terungkap, ada tradisi kuat yang menyelimuti rumah kebaya.

PEMBAGIAN ZONA

Pembagian ruang dalam rumah kebaya selalu sama. Bagian depan adalah pelataran tempat menjemur padi, lalu paseban tempat menerma tamu. Setelah itu ruang tengah dan kamar tidur. Secara tradisi ruang tengah adalah tempat paling privat dan sakral. Kecuali saat upacara penting, ruangan ini hanya terbuka untuk keluarga dan teman dekat.. Dinding samping ruang altar biasanya dipenuhi foto pernikahan dan wisuda. Rupanya menikah dan lulus sekolah adalah kejadian yang dianggap penting. Mungkin kematian juga termasuk peristiwa penting, tapi foto kematian memang kurang enak dilihat.

Ada dua kamar tidur ditiap sisi ruang tengah. Sisi kiri untuk orang tua dan anak laki-laki, sisi kanan buat anak perempuan. Di kanan kiri meja sembahyang ada pintu menuju gang pendek keruang tengah. Pengaturan serupa juga saya temui di rumah Peranakan Cina di Lasem dan Kudus. Rumah di Kudus hampir serupa dengan rumah kebaya, dengan atap lebih runcing Rumah di Lasem ukurannya lebih bervariasi, dengan pengaturan letak meja abu (meja sembahyang) dan kamar tidur sama dengan rumah kebaya. Selain kamar tidur, lokasi dapur juga selalu ada disisi kiri. Sampai saat ini pembagian ruang ini masih ditaati.

PERLAKUKAN RUMAH DENGAN BAIK
Suatu hari saya mengunjungi Oen Kong Tjoan (65) di Cukang Galih. Rumahnya mungkin satu2nya rumah kebaya dalam kondisi asli yang masih ditinggali. Kong Tjoan sendiri tidak tahu usia rumah itu, tapi dia dilahirkan disitu 65 tahun yang lalu. Menurut Oen Kong Tjoan,  “Kita musti ati-ati sama rumah. Salah salah bisa celaka”.

keluarga di depan altar rumah kebaya saat imlek
Imlek di rumah kebaya

Mereka percaya bahwa rumah tidak sekedar tempat berteduh. Seperti manusia, rumah juga harus diperlakukan dengan baik. Rumah yang mendapat perlakuan tidak pantas akan membawa efek jelek pada penghuninya. Sebaliknya mereka akan mendapat kebaikan kalau memperlakukan rumahnya dengan baik juga.

Bahkan lingkungan sekitar rumah juga harus diatur. Oen Kong Tjoan bercerita tentang temannya yang membangun rumah baru didepan rumah warisan orang tuanya. Kemalangan datang bertubi-tubi, “Itu gara-gara rumahnya yang tua dipungungin rumah yang mudaan” katanya.

ayam piaraan di samping lumbung
Ayam piaraan

Selain ruangan, bahan dan cara pembangunan rumah juga ada aturannya. Pelataran depan tempat menjemur padi dilapisi tegel terakota atau batu bata. Tiang-tiang penting selalu memakai kayu jati atau nangka. Pasak kayu, bukan paku, dipakai untuk menyatukannya. Untuk dinding bisa dipakai kayu nangka atau jati, tapi ada juga yang memakai gedek atau anyaman bambu.

pemilik rumah kebaya cina benteng
Loa Ik Ai, pemijat tunanetra

Tata-cara pendirian rumah kebaya sangat rumit sehingga memerlukan konsultan khusus. Salah satunya adalah almarhum Oei Kie Hien (1911-1993) dari Cukang Galih. Menurut cucunya, Oei Song Geng (46), yang sempat mengamati cara kerja kakeknya, balok akan ditandai bagian mana yang dekat akar, karena ujung ini harus menghadap arah tertentu. Waktu pembangunan juga diatur. Pemasangan belandar utama atau “tiong chit” misalnya, harus saat malam bulan purnama. Sebelum gelap bulan, seluruh bagian atap sudah harus tertutup rapi. Kamar juga harus berbentuk bujursangkar, sedang ukuran disesuaikan dengan tanggal lahir, dan juga ukuran kantong pemilik tentunya.

Karena sulitnya bahan, jaman dahulu bahan mulai dikumpulkan jauh sebelum pembangunan dimulai. Menurut Dwi Budi Prasetyo dari Rumah Kayu Goen, bahan yang paling sulit adalah 3 “tiong chit” (belandar utama) sepanjang minimal 4 meter. Biasanya dari kayu jati atau nangka. Menurut Budi kayu nangka banyak dipilih karena kekuatannya setara dengan jati, sedang harganya lebih murah. Seperti kayu jati, kayu nangka tahan serangan rayap. Masalahnya pohon nangka yang ditanam untuk dipanen buahnya, biasanya tidak tumbuh setinggi itu. Jadi harus menanam pohon khusus untuk tiang rumah. Tidak heran proses sejak menanam pohon sampai rumah siap ditempati bisa memakan waktu 20 tahun lebih.

altar dewa dapur cina benteng

Mungkin karena rumitnya proses pembuatan rumah kebaya, ditambah konstruksinya yang tahan lama, rumah kebaya biasanya dipakai sampai beberapa generasi. Kalau terpaksa harus pindah, desainnya yang “knock-down” membuat rumah kebaya dapat dibawa dengan mudah. Sistim ini sudah terbukti bekerja baik. Banyak rumah kebaya yang digusur saat pembangunan bandara Soekarno-Hatta, masih berdiri kokoh ditempat barunya sampai sekarang.

sembahyang imlek cina benteng
Tjoa Kie San dengan altar sederhana yang dibuatnya

Karena umumnya lokasi rumah kebaya ada di daerah pertanian, fungsi rumah kebaya sebagai rumah petani masih berjalan. Tiap musim panen padi masih dikeringkan dipelataran depan. Paseban yang luas, selain sebagai tempat menerima tamu, juga dipakai untuk menyimpan pupuk, bibit padi dan kebutuhan pertanian lainnya.

Saat ini sudah tidak ada lagi generasi pertama pemilik rumah kebaya. Sehingga hampir semua rumah kebaya disebut rumah kongsi. Menurut Sim Yong, seorang penduduk Cukang Galih, rumah kongsi adalah,

“Rumah kongsi itu hak orang tua, bukan hak anak. Bisa dipakai keluarga yang kesusahan”.

Jadi setiap keturunan pemilik punya hak yang sama terhadap rumah itu, tetapi kewajiban merawat diemban yang menghuni rumah. Karena ini rumah kebaya banyak dipakai untuk acara keluarga. Hal ini dapat kita lihat saat Imlek. Saat itu rumah akan ramai, seluruh keluarga akan berkumpul. Selain adanya meja abu leluhur, juga mungkin karena alasan praktis. Dengan dapur dan halaman yang luas, rumah kebaya cocok sekali untuk tempat pertemuan.

rumah kebaya

rumah-kebaya-renovasi
Rumah kayu Goen. Ruang depan rumah kebaya yang sudah “dipoles”

Sayangnya saat ini rumah kebaya semakin sulit ditemui. Sampai tahun 1970an saya masih banyak melihat rumah kebaya di lokasi bandara Soekarno-Hatta sampai ke Teluk Naga di Utara. Sekarang saya hanya menemui 2 rumah kebaya di Teluk Naga. Satu rumah sudah beberapa tahun dibiarkan kosong. Pemiliknya pindah kerumah tembok baru disebelahnya. Di pinggiran kota Tangerang, saya hanya menemui satu rumah. Sekarang kalau mau melihat rumah kebaya, kita harus ke pelosok Selatan Tangerang, seperti di Cukang Galih ini.

Semakin langkanya rumah kebaya mendorong Gunawan dari Rumah Kayu Goen untuk menyelamatkan. Dikomplexnya didesa Ciakar dekat Cukang Galih, ia mengalih-fungsikan sebuah rumah kebaya kecil menjadi rumah peristirahatan dan galeri. Karena sudah “dipoles” tempat itu kerap dijadikan lokasi pemotretan. Inisiatif Gunawan patut dihargai, karena ia mampu menampilkan keindahan rumah kebaya.

Kini mulai muncul kebanggaan dikalangan pemilik rumah kebaya. Dengan gayanya yang lugu, Kong Tjoan berkata, “Heran nih rumah, bawahnya aja tanah. Tapi orang2 malah pada kesini. Rumah yang dikeramik malah gak diliat.”

Semoga rumah kebaya yang tersisa dapat bertahan, sebagai bukti bagaimana ratusan tahun setelah penduduk Cina menempati Tangerang, jejak bermukimnya masih bisa dilacak. Di pelosok kampung, rumah kebaya yang asli seakan menunjukkan kehidupan dan budaya kaum petani Cina Benteng yang tidak banyak berubah sejak mereka mulai membuka hutan Tangerang.

Dimuat di Martha Stewart Living Indonesia, Januari 2012

Alamat Rumah Kayu Goen
Jl.Rumah Kayu Goen No.18 Rt 05/Rw 02 Kp.Cipari, Desa Ciakar, Kec.Panongan, Banten

5 comments

  1. Semoga tetap terjaga keletarian rumah kebaya, melihat rumah kebaya ada kepuasan batin memandangnya (seperti masuk kemasa lalu sewaktu kota disekitar jagotabek masih banyak sawah dan kebunnya. trim

Tinggalkan Balasan ke M Khan Batalkan balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s