
Bis Dambulla – Kandy penuh sesak, saya harus berdiri di pintu belakang. Kondektur memindah ransel saya kebawah kursi, tidak boleh ditengah jalan. Karena pak sopir malas menginjak rem, ransel bergeser ke antara bangku bis. Saat seorang nenek turun, ransel terinjak. Seorang anak muda yang melihat, ia mengambil ransel dan memangkunya. Kebaikan dari orang tak dikenal selalu menyentuh hati saya.

Sejak sampai di Sri Lanka dua hari yang lalu, saya sudah beberapa kali terkesan dengan kebaikan penduduknya.
Saat saya baru mendarat memang kesannya seram. Keadaan darurat sudah berakhir, tapi masih banyak militer berjaga. Di tangga pesawat ada dua tentara penjaga pangkalan udara (Sri Lanka Air Force Regiment) bersenapan otomatis. Dari pesawat ke ruang tunggu harus melewati beberapa penjagaan lagi. Selain itu, bandara Bandaranaike cukup baik. Sibuk terus 24 jam, fasilitas cukup lengkap walau sederhana. Saya melihat tanda bertuliskan “Sleeping Area”. Tempatnya sebuah pojok berlapis karpet, tidak ada tempat tidurnya.
Saat menuju pintu keluar saya melewati deretan toko duty free. Isinya mesin cuci dan lemari es. Ternyata penumpang yang datang bisa belanja bebas pajak, dan dua barang itu adalah oleh-oleh yang paling digemari di Sri Lanka.

Kios informasi turis masih buka, meski sudah jam 10 malam. Petugasnya cekatan dan ramah, meski tidak tahu terlalu banyak. Saya diberi buku panduan dan peta gratis. Cukup mengesankan, apalagi negara ini baru selesai perang.

Tujuan saya ke Sri Lanka kali ini adalah komplex gua di Dambulla dan kota Kandy. Di Dambulla ada beberapa gua yang dijadikan kuil Buddha. Ada yang berusia 2000 tahun dengan dinding berlapis lukisan tempera*. Sedangkan Kandy adalah pusat kerajaan terakhir di Sri Lanka. Keduanya berada didataran tinggi dan termasuk dalam 8 UNESCO World Heritage di area Segitiga Kebudayaan Sri Lanka.
Saya segera mencari hotel. Setelah menelpon beberapa kali akhirnya mendapat kamar disebuah guest house di Dambulla. Saat itu sudah jam 11 malam, tidak mungkin naik kereta atau bis ke Dambulla. Pilihan hanya menunggu pagi di bandara atau menyewa mobil. Akhirnya saya meputuskan menyewa mobil. Ada sederet tempat penyewaan mobil didekat pintu keluar. Setelah tawar-menawar akhirnya disepakati Rs 16000 untuk 2 hari**.
Sambil menunggu mobil saya merokok diluar. Tempat merokok sepi, hanya saya sendiri. Mendadak ada tentara menenteng Uzi menghampiri. Rasanya akan ada masalah.
Setelah dekat, setengah berbisik si tentara berkata,
“Excuse me Sir, can I have a cigarette ?”
Peristiwa ini akan terjadi berulang kali. Kita tidak melihat orang merokok, tapi banyak yang minta rokok. Anehnya rokok itu hanya dikantongi. (Setelah kembali ke Jakarta, saya baru tahu kalau merokok ditempat umum tidak diperbolehkan di Sri Lanka.)
Kami berbincang-bincang sejenak. Ia mengenal pulau Jawa, “Ja” dalam bahasa Sinhala. Ternyata sejarah kerajaan Buddha di Jawa cukup dikenal disini.
Selesai merokok mobil sudah menungggu. Kondisi mobil sangat baik, sopirnya berpakaiannya rapi, baju lengan panjang dan sepatu kulit hitam. Jalan antara Colombo-Dambulla, sekitar 270 km, beraspal mulus tanpa lubang. Saat melewati kota-kota kecil, tidak ada orang yang nongkrong dipingir jalan. Yang banyak justru anjing dan sapi, sebagian malah duduk-duduk santai ditengah jalan.

Satu jam kemudian saya sampai didaerah yang sepi, hanya ada pepohonan lebat disisi jalan.
“Tea ? Sri Lankan tea ?“, pak sopir bertanya.
Saya mengangguk. Tidak lama nobil berhenti didepan sebuah gubuk. Warung itu menyediakan teh dan roti yang hangat. Roti adalah satu-satunya nama makanan yang saya ingat, karena namanya mudah : roti. Bentuknya mirip kerupuk Bangka, tapi rasanya mirip roti prata. Saat dipesan roti baru dipanggang dengan arang, lalu dimakan dengan sambal cabe merah ulek. Saya juga membeli beberapa botol air. Saat saya bertanya berapa harganya, pak sopir memeriksa label botol. Ternyata di Sri Lanka semua barang sudah memiliki HET (Harga Eceran Tertinggi).
Catatatan :
Menurut kepercayaan setempat, Sri Lanka adalah Alengka di kisah Mahabrata, negaranya Rahwana
Dimuat di National Geographic Traveler Indonesia, Juli 2012
Saya juga berperasaan sama ketika tiba di Colombo, seperti siaga perang. Tetapi ketika bertemu penduduk, ternyata mereka orang yg baik hati dan suka menolong.
Benar bu Ellen, ternyata penampilan luar tidak bisa dijadikan patokan ya