Cerita Dibalik Nama

Saat ke Bali akhir Desember tahun lalu, pesawat berangkat dari Jakarta jam 4:30 pagi. Saya sampai dibandara Ngurah Rai dalam keadaan setengah tidur. Langsung mencari kopi, untungnya Starbuck di bandara sudah buka. Dimeja sebelah keluarga keturunan Cina, wanita setengah baya, seorang pria dan 3 wanita awal 30an. Mereka berbicara seru dalam logat Jawa Timur yang kental.

“Robby”
“Dipanggile Rob”
“Oscar”
“Arthur”
“Liyem wae, Liyem”
“Liyem opo toh”
“tulisane Liam”
“Jason, Jason”
“Emoh, wedi aku”
“Yo wess, flin wae”
“Ya flin lumayan kuwi”
“Flin ae, golek nama sing ora pasaran”
“Ya kowe golek artine sek toh”
“aku suka sing western”
“Anake lanang toh ?”

Rupanya mereka sedang mencari nama untuk bayi yang akan lahir.

“Rey, Rey”
“Opo nama sing berdasarken warna yo”
“Nama belakangne sopo”
“Oen”
“Oen ? Oen Aguilero”
“Ora mbo kei nama Mandarin ?”

Sambil melihat tabletnya seorang wanita berkata
“Ifin, adikmu toh Kevin”
“Ifin ki artine ki heros from Ireland”
“lha kowe kristen toh, kei nama kristen”
“Aaaron”

Generasi orang tua saya jarang sekali yang memiliki nama Irlandia. Apalagi generasi nenek saya yang lahir th 1908. Nenek saya namanya mak Kuat, saudaranya yang tinggal di Cilacap mak Bejo. Sedang tetangga  di jalan Kebon Cino Semarang bernama wak Timbul dan mak  Adem.

Setiap nama itu ada cerita dibaliknya, tidak diberikan sembarangan. Bisa pengharapan orang tua, atau kejadian penting dalam kehidupan.

Nama dikalangan peranakan Cina ada peraturannya. Untuk laki-laki nama keluarga-nama  generasi-nama pemberian. Tiap keluarga punya urutan nama generasi yang diwariskan turun temurun. Untuk wanita nama keluarga-nama pemberian-Nio. Nama pe mberian ini bisa bahasa Cina, Jawa kadang Belanda.

Dimasa itu dokter anak juga sering ikut memberi nama Belanda, karena dokter saat itu Belanda semua. Nama barat ini tidak dianggap penting. Kadang dipakai sebagai nama kecil, sering juga terlupakan.

Pada masa Orde Baru mendadak keluar “imbauan yang harus diikut” untuk ganti nama. Bisa dibayangkan kebingungan yang terjadi, jutaan orang hari itu tiba2 harus memilih nama baru. Tidak ada pakem yang bisa dipakai,  sehingga bermunculan banyak “nama dadakan”. Ayah saya yang berasal dari keluarga Tjoa, memilih Wiratama, sampai sekarang saya tidak tahu alasannya. Saat itu nama yang berbau Sansekerta atau Jawa kuno cukup populer dikalangan Peranakan, sedangkan nama seperti Bejo, Paiman atau Poniman jarang sekali dipilih.

Setelah Orde Baru berakhir, pembatasan nama tidak dipedulikan lagi. Tapi nama tradisionil sudah tidak diminati. Nama asing menjadi populer, biasanya nama Inggris. Malah ada yang memakai dua nama pertama (given name), seperti Agnes Monica.

Entah kenapa nama2 tradisionil semakin tidak digemari. Nama barat yang dulu tidak dianggap penting, sekarang naik daun menjadi nama resmi. Yang pasti, cerita dibalik nama semakin jarang terdengar.

One comment

Tinggalkan Balasan ke Cerita Dibalik Nama « Klamboe Batalkan balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s