Cerita seorang pertapa di Rembang, Jawa Tengah. Seorang nenek, bertapa dirumah tua besar warisan leluhurnya. Sering dimintai tolong menyembuhkan penyakit, dan selalu menolak imbalan apapun . Ia yakin jika berbuat baik, untuk hidup : “Pasti ada jalan”

Rumah di ujung jalan Erlangga, Rembang itu dikenal sebagai “omah lowo” (rumah kelelawar), karena banyak kelelawar yang bersarang disitu. Dihuni turun temurun oleh keluarga Lie sejak dua ratusan tahun yang lalu.
Di paviliun sampingnya tinggal seorang pertapa, emak Khing. Nama lengkapnya Lie Khing Nio. Ia menolak memberitahu umurnya. Seorang penganut aliran Theravada, ia menyebut dirinya “pertapa omahan”, orang yang bertapa dirumah.
Sebagai pertapa ia tidak menikah, tidak makan daging, dan selalu puasa.Puasanya sudah lumayan lama, sejak tahun 1953. Setiap hari, sejak jam 12 siang sampai matahari terbit.
Lie Khing Nio tidak selalu menjadi pertapa. Tahun 1955 ia bekerja di Malang sebagai wartawati di Paragon Press* di Malang. Situasi politik membuatnya berhenti.
“Teman teman banyak yang diciduk… Baperki kan”, katanya.
Keluar dari Paragon Press, ia kembali ke rumah leluhurnya di Rembang, dan mulai menjadi pertapa.
“Pertapa itu kerjanya apa mak ?”, tanya saya
“Ya berdoa, kadang ada yang minta diobati atau cari tanggal”
Ia memang dikenal bisa mengobati orang sakit , juga mencari hari baik untuk membuka usaha, pernikahan atau peristiwa penting lainnya.
Penyakit apa saja yang bisa diobati ?
“Penyakit apa saja, kecuali penyakit hati” katanya.
Ilmu pengobatan didapat dari ayahnya, Lie Hong Djan, yang beristrikan seorang bidan bernama Wing Ga. Lie Hong Djan sendiri mendapat ilmu itu dari ayahnya, seorang sinshe yang juga seorang “bandar kapal”. Untuk jasanya, si emak tidak mau menerima imbalan apapun.
“Sebelumnya saya sudah disumpah, ndak boleh terima imbalan apapun” katanya.
“Lantas dapat uang dari mana mak ?”
“Pasti ada jalan” jawabnya yakin.
Pembicaraan terputus, ada orang yang datang. Mengantar rantang berisi makanan.
“Lha ini” mak Khing menujuk rantang di depannya, “aku ndak minta lho, tapi ada saja yang ngirimi”
Si emak memberi saya sebutir jeruk, lalu ia permisi makan karena sudah jam 11 siang.
*Paragon Press adalah percetakan dan penerbit yang didirikan tahun 1918 oleh Kwee Sing Tjhiang di Malang dan masih ada sampai saat ini.
Tambahan :
Dari salah satu cucu keponakan mak Khing, saya mendapat kabar kalau beliau sudah meninggalkan dunia ini tanggal 23 Mei 2013, pada usia 88 tahun. Beliau pasti mendapatkan jalan yang baik disana. Namanya di tulis sebagai Lie King Nio.
[…] jalan ada satu rumah tua besar yang banyak kalongnya. Penghuninya emak King dan mak Joei, adiknya. Emak King ini seorang pertapa, istilah yang ia pakai “biarawati omahan”, sedang anak mak Joei pemilik restoran Hien. […]
Pak Dipo, saya telah mengirim e-mail kepada Anda mengenai artikel Pertapa di Rrmbang ini, mohon bantuanya, tetima kasih
maaf sebelum nya , Lie Tjhing kien siapa ya ? saya ini cucu nya mak khing yang sering menemai beliau , kalau di lihat dari marga berarti semarga sama saya , terima kasih
semoga perbuatan baik emak king mengkondisikan emak menuju ke alam nibbana,shukihonto anumondano…saddhu…