Cambridge, jembatan diatas sungai Cam

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Di sini yang lama dan yang baru hidup berdampingan. Kota sebesar Jogja ini penuh bangunan tua, ada yang dari zaman Airlangga masih menjabat. Seperti di film James Bond, di dalam bangunan-bangunan tua  itu para ilmuwan sibuk membuat peralatan canggih. Pinggiran kota tempat petani dan desa, ladang gandum, kebun dan peternakan. Penduduknya menanam gandum, beternak sapi, sebagian membuat “integrated ciruit” untuk supercomputer. Kota yang sangat kontras, modern sekaligus tua.

cambridge di waktu sore
St Andrew’s Street. Emmanuel College di latar belakang

Dulu saya mengira Cambridge adalah sebuah universitas di pinggiran London, Ingggris. Ternyata Cambridge itu nama kota, bahkan salah satu yang tercantik di dunia menurut majalah Forbes. Kota yang cantik di tengah daerah teknologi tinggi Rawa Silikon (Silicon Fen).

Silicon Fen  lah yang membuat saya datang. Tujuan saya adalah sebuah perusahaan perangkat lunak di Litlington, desa berpenduduk 800 orang. Berbeda dengan kota di Silicon Valley, suasana Litlington seperti desa dalam buku James Herriot. Di sebuah runah saya melihat traktor dan mobil Morris tua berangka kayu, di dekatnya ada beberapa rumah beratap jerami.  Bahan atap tradisional ini sekarang sudah menjadi status simbol karena harganya yang mahal. Kadang jalanan juga macet karena ada rombongan sapi ditengah jalan.

Ada ribuan* perusahaan bioteknologi, software, dan elektronik di Silicon Fen. Kebanyakan adalah perusahaan kecil, meskipun ada juga perusahaan besar seperti ARM dan Broadcom. Perusahaan yang saya datangi pegawainya hanya belasan orang, tapi mereka menjual produknya keseluruh dunia.

lorong rose crescent cambridge inggris
Suasana sore di Rose Crescent, salah satu gang kecil di Cambridge.

Yang hidup sampai 1000 tahun

Kota ini tumbuh di sekitar sebuah jembatan di atas sungai Cam atau “Cam bridge”. Tidak ada yang tahu pasti kapan didirikan, tapi pada abad ke-9 kota ini sudah tercatat sebagai kota yang ramai. Ada lebih dari 1500 listed building di sini yang sangat dibanggakan penduduk Cambridge.  Saat negara berkembang berusaha keras membangun gedung-gedung baru untuk menunjukan “kemajuannya”, negara ini malah bangga dengan gedung-gedung tuanya. Yang paling tua adalah menara gereja St Bene’t; berdiri pada abad ke-11. Juga ada kapel kapel buat penderita lepra St Mary Magdalene dan School of Pythagoras dari abad ke-12.

Semua gedung itu masih digunakan. St Bene’t masih jadi gereja, School of Pythagoras menjadi tempat menyimpan arsip St John’s College. Kapel St Mary Magdalene diubah menjadi galeri dan tempat pertunjukan seni, mungkin karena penderita lepra makin sedikit.

Tawar dulu sebelum naik taxi

Meski Cambridge adalah kota tua, tetap terlihat ciri negara maju: banyak orang jalan kaki di trotoar. Sedikit kendaraan karena hanya kendaraan umum dan milik penderita cacat yang boleh masuk kota siang hari. Berjalan kaki atau naik punt, perahu datar mirip getek, menjadi cara paling tepat buat melihat kota. Kalau malas mendayung, kita bisa ikut tur. Kita akan dipandu sekaligus didayungi.

Saat taxi baru ada di Jakarta, banyak yang tidak mau memakai argo alias borongan. Ternyata banyak taxi di Cambridge yang memakai sistim borongan.Jadi pastikan kita sudah sepakat dengan harganya sebelum naik. Ada juga taksi yang hanya menerima pesanan via telpon. Saat saya ingin naik taksi yang sedang berhenti, saya diminta memesan ke kantornya lebih dahulu. Kalau memakai argo ada kebiasaan untuk memberikan tip. Biasanya dibulatkan keatas . Tapi kalau nilai argo sudah bulat, kita tidak perlu memberi tip.

Jalanan di kota ini sempit dan ruwet, tapi konon zaman dulu lebih padat. Sisa-sisa Cambridge tempo dulu bisa dilihat dengan datang ke St Edward’s Passage. Gang berbentuk hutuf Y ini belum berubah sejak abad ke-16. Kita akan merasakan padatnya Cambridge.

Mungkin karena peraturan konservasi, banyak gedung yang masih belum mengganti papan namanya. Saat saya ke Whipple Museum, yang terpampang adalah “Laboratory of Physical Chemistry”, nama museum hanya tertulis di selembar kertas. Oleh karena itu sebaiknya kita membawa peta.

king college cambridge
St Edward’s Passage, gang kecil dari abad 13 diseberang King’s College. Disini  kita bisa melihat keadaan awal kota yang padat. Rupanya jaman itu orang Inggris banyak yang tinggal di gang. Dikiri adalah toko kamera, jualannya dari kamera film sampai digital.  https://www.youtube.com/watch?v=6JFM3Gd3SbA

Gara-gara tawuran mahasiswa

Tempat paling terkenal adalah University of Cambridge yang didirikan tahun 1209, universitas tertua di Inggris setelah Oxford. Yang mendirikan ya orang-orang Oxford yang diusir karena sering tawuran dengan penduduk.

Universitas Cambridge terbagi menjadi 31 kolese yang tersebar di seluruh kota. Semua kapel kolese, dan beberapa bagian lainnya, terbuka buat umum**, tapi yang paling cantik adalah kapel King’s College. Kapel abad ke-15 ini dikelilingi jendela kaca patri (stained glass) dengan atap bergaya Gothic, yang konon paling besar di dunia.

Museum dan galeri juga banyak sekali di kota kecil ini. Yang menarik buat saya adalah museum teknologi. Paling kurang ada tiga: Cambridge Museum of Technology,  The Centre of Computing History, dan Whipple Museum of Science.  Museum yang terakhir itu didirikan oleh Robert Whipple. Dia seorang kolektor instrumen dan bekas direktur Cambridge Scientific Instrument Company, yang didirikan tahun 1881 oleh Horace Darwin, anak dari Charles Darwin.

Pasar sayur di tengah kota

Di tengah kota ada dua mal yang terhubung. Akan tetapi isinya adalah chain store. Kurang seru. Yang menarik justru toko-toko kecil yang bertaburan sampai ke dalam gang.

Sebagai penggemar buku, saya wajib mendatangi toko buku Cambridge University Press. Mengambil tempat di sebuah gedung tua di pojok jalan, di lokasi ini sudah ada toko buku sejak abad ke-16. Buku yang dijual di sana dapat dibeli secara online. Tapi untuk merchandise, seperti tas, kaus, atau kartu pos, harus beli di tempat.

Toko buku yang lebih kecil juga banyak. Ada penjual buku antik, ada juga penjual buku bekas. Mungkin buku bekas yang tidak laku seratus tahun lagi akan dijual sebagai buku antik.

Di belakang Cambridge University Press sejak 800 tahun terakhir dibuat pasar sayuran, Market Hill namanya. Penjualnya petani sekitar kota. Seperti pasar lainnya di Indonesia, pasar ini sudah mulai sepi kalau siang.

penjual hamburger di cambridge
Penjual kebab di Market Hill. Jika ingin makan murah dan kenyang di Eropa, carilah penjual kebab atau restoran Turki. Di jamin kenyang.

Usahakan meluangkan waktu untuk menelusuri gang-gang sempit di sini, karena banyak toko dan kafe yang letaknya agak tersembunyi. Beberapa yang saya ingat adalah toko kecil yang menjual bermacam permen, toko kamera yang masih menjual film, toko tas dan topi kulit, toko sabun handmade, toko kain-kain khas Inggris, seperti Harris Tweed.

Ale dan Celeng

Masakan Inggris sering dijadikan lelucon, konon lantaran cara masaknya cuma direbus. Ternyata banyak pilihan makanan di Cambridge, dari masakan Jepang sampai Afrika. Saya mencoba beberapa macam makanan, antara lain pizza versi Sisilia yang otentik, itu kata penjualnya yang orang Sisilia, pangsit gaya Cina Utara yang juga dijual imigran dari Cina. Ternyata kualitasnya masakannya baik, jauh dari hambar.

Masakan Inggris yang saya paling terkenal, dan inginsaya cicipi, adalah fish and chips. Pertama saya mencoba di  pub bertuliskan “established 1754”. Menunya vegetarian sampai daging celeng, jadi ingat Obelix, ditambah bir dan ale lokal. Ikannya segar, tapi rasanya tidak istimewa. Saya mencoba lagi di Browns, bekas rumah sakit Addenbrooke dari abad ke-19 yang diubah menjadi restoran. Pilhan menunya cukup banya: vegetarian, ikan, sapi, dan kambing.  Fish and chips di sini disajikan dengan puree pea dan daun mint. Di sini rasanya lebih cocok buat saya.

Perkenalan saya dengan ale lokal Inggris membuat saya lebih “memperhatikan” minuman itu. Umumnya lebih enak dibanding merek terkenal. Perut saya yang selalu kembung kalau kemasukan bir ternyata bersahabat dengan ale Inggris. Beberapa pub membuat minuman mereka sendiri. Sayang saya tidak sempat mencoba semua.

Waktu yang mulur mungkret

Malam terakhir saya berjalan sepanjang King’s Parade. Di simpang St Bene’t dan Trumpington, piringan emas jam Corpus bersinar biru, seperti benda dari luar angkasa. Jam seharga satu juta poundsterling itu berlapis emas. Dibuat bergelombang untuk melambangkan Big Bang, awal dari waktu dan dunia. Ada tulisan di bawahnya : “Mundus transit et concupiscentia eius”, dunia dan nafsunya akan berlalu.

Diresmikan fisikawan Stephen Hawking, jam  ini hanya tepat setiap 5 menit. Setelah itu bisa terlalu cepat atau malah ngaret. Maksudnya untuk menunjukan konsep relativitas waktu. Konsep yang sudah berkali-kali saya pelajari, dan masih belum saya mengerti.

Seperti pasar sayur di pusat kota, perusahaan hi-tech ditengah kebun jeruk, jam di pojok gedung tua ini menunjukan perpaduan masa lalu dan masa kini. Bagi saya, perjalanan kali ini sudah menunjukan kalau masa depan tidak perlu menghapus masa lalu.

boneka ratu elizabeth di jendela
Sang ratu dadah2 di jendela

* menurut perkiraan jumlah perusahaan tehnologi di area Silicon Fen antara 1000-3500

** tempat2 ini tidak buka 24 jam, jadi sebaiknya harap mencari tahu jam buka terlebih dahulu

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s