Lie Djie Tong, cucu dan penerus ilmu silat warisan Lie Tjeng Hok. Lahir sekitar tahun 1922, Lie Djie Tong adalah generasi ke-6 keluarga Lie yang tinggal di Dadap. Dimulai dengan kedatangan Lie Ah Djan dari Tiongkok, keluarga peranakan Cina ini turun-temurun bekerja sebagai petani di daerah itu. Sekarang Dadap dikenal sebagai kawasan pergudangan, tapi dulu, belum terlalu lama, daerah ini isinya sawah dan peternakan.
Usianya sudah 86 tahun saat foto ini diambil, tapi jiwa pendekarnya masih kuat. Saat saya tanyakan apakah masih melatih ilmu silatnya, dengan sigap kedua tangannya memasang jurus.
“Boleh kalau mau coba”, katanya.
Berbicara dengan beliau agak sulit, karena Lie Djie Tong memakai bahasa Melayu Pasar, bahasa yang dipakai kaum peranakan Cina jaman dulu, dan sepertinya agak curiga dengan maksud kami.
“Ini apa kaya PKI ya ?“, tanyanya.

Beliau akhirnya bercerita kalau ilmu bela diri keluarga Lie diturunkan pada Lie Tjeng Hok, kakeknya dan cucu Lie Ah Djan, melalui mimpi. Suatu saat Lie Tjeng Hok diuji oleh seorang pendekar Siauw Lim, dan pendekar itu mengatakan kalau ilmu itu sama dengan ajaran Siauw Lim.
Lie Djie Tong sendiri tidak membuka perguruan, hanya mengajar untuk keluarga saja. Mereka dulu berlatih di dalam rumah kebaya tua di sudut tanahnya yang luas itu. Rumah antik itu sekarang dijadikan rumah kawin, rumah yang disewakan untuk acara perkawinan.
Di kemudian hari ilmu ini berkembang menjadi silat Beksi. Bagaimana kuntauw Siauw Lim ini lalu menjadi silat Beksi ? Seorang cucunya memberi nama seorang ketua perguruan silat Beksi. “Tanyakan kesitu saja”, katanya.
—”—
Sebelum pulang saya menyebrangi tanahnya untuk mampir ke rumah kebaya keluarga Lie itu. Rumah yang dulu di kelilingi sawah itu kelihatan kesepian di antara gedung-gedung tembok. Seorang cucunya mengantar sampai ke depan rumah. Saya bertanya,
“Kerja dimana koh ?”.
“Jualan kabel di Glodok”, jawabnya.